Jumat, 11 Januari 2013

Bisnis Pendidikan, ,,,????

Bisnis Pendidikan, Bolehkah?


Dunia bisnis, sangatlah luas. Apapun bisa dibisniskan dan dijadikan peluang bisnis. Sekarang ini lagi trend bisnis pelatihan, seminar dan kelas-kelas bisnis. Sebelumnya, saya tidak bisa membayangkan seminar yang cuma beberapa jam tapi biayanya bisa puluhan juta rupiah. Dengan diiming-imingi perubahan, dahsyat, revolusi dan sebagainya bisnis ini terbukti cerah dan menjanjikan, buktinya pesertanya tetep membludak.
Sepintas apa yang menjadi jualan mereka berupa berani mimpi, berani berubah, berani mencoba adalah hal-hal yang abstrak dan mengawang-ngawang. Tapi berkat kepiawaian nara sumber memainkan emosi peserta, body languange, pengalaman hidup dan garansi setelah mengikuti pelatihan membuat daya dobrak bagi diri peserta yang tadinya tidak mungkin, menjadi mungkin, tidak bisa menjadi bisa, tidak ada menjadi ada, diam menjadi bergerak. Mereka berani jualan (busines) mimpi, mimpi akan kehidupan yang lebih baik.
Hebat benar mereka, telah menginspirasi bayak orang. Dan ilmunya akan selalu dikenang menjadi titik awal perubahan.
Menurut saya, bisnis pelatihan sifatnya bukan barang dan bukan juga jasa. Karena kalau jasa harus nampak hasilnya dan jelas  pekerjaannya (job desk nya). Jadi inilah bisnis yang bagi saya dulu berpandangan mana ada yang mau beli, mau ikut kelas, apalagi bayar mahal! Ternyata salah pandangan saya ini.
Bidang pendidikan merupakan lahan empuk dan subur untuk dijadikan bisnis. Karena menurut pakar bisnis, ada 2 bidang bisnis yang tidak akan pernah mati, dalam keadaan perang sekalipun; yaitu, pendidikan, dan kesehatan. Orang takut bodoh, karena bodoh berakibat miskin. Begitu juga orang tidak mau sakit, maka apabila sakit maka akan membla-belain mengobati penyakitnya demi mendapatkan kesembuhan.
Ada sebutan bagi bisnis pendidikan yaitu Edu Preneurship. Dimana pendidikan menjadi lahan basah untuk berbisnis. Bisnis di bidang pendidikan bersifat padat modal, mahal dan jangka panjang.
Untuk menilai sukses tidaknya bisnis pendidikan tidak bisa ditentukan oleh bilangan tahun, karena orang perlu bukti. Bayangkan, untuk bisnis sekolah tingkat SD, paling tidak indikator berkualitasnya sekolah tersebut,  dilihat dari lulusannya. Berati harus nunggu selama 6 tahun untuk mendapat kepercayaan masyarakat. Tapi bisa juga berkualitas dilihat dari proses pendidikannya, input yang diberikan kepada siswa, juga hasil berupa kemampuan kognitif, apektif dan psikomotorik siswa.
Bisnis pendidikan adalah bisnis kepercayaan, maka sekalinya dipercaya image itu akan melekat pada lembaganya. Tidak perlu mencari siswa, tapi orang tua lah yang berbondong-bondong mencari lembaga semacam itu.  Sehingga percaya gak, ada sekolah di bintaro yang waiting list nya 3 tahun. Jadi sekolah tersebut tidak pernah membuka pendaftaran, seringnya juga menutup pendaftaran. Padahal harga uang pangkal untuk masuknya saja senilai biaya semesteran di UIN sampai lulus. Jadi kalau mau masuk Play Group harus daftar sejak bayi dalam kandungan, hehehe.
Kalau diperhatikan, sekarang ini bisnis pendidikan makin subur dan menjamur. Dengan menu jualan yang bervariasi seperti, bilingual, full english, lebel IT (Islam terpadu), label Plus, kurikulum Cambridge, dll membuat sekolah seperti perusahaan, profit oriented. Salahkah? tentu tidak.  Tapi ada hal yang ekslusif bahwa sekolah-sekolah tersebut hanya untuk kalangan berduit, borjuis bukan untuk orang miskin. Kualitas sebanding dengan harga, benar adanya. Tapi kalau pendidikan membuat kastanisasi kehidupan, pemenuhan otak, namun pengeringan hati, patut dipertanyakan; bahwa pendidikan telah kehilangan rohnya. Kini di dunia pendidikan tidak bisa lagi diajarkan toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan. Lho bagaimana mau toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan karena di suatu sekolah siswanya bersifat homogen. Kaya, kaya semua. Miskin miskin semuanya. Di suatu sekolah hanya ada satu agama tertentu saja.
Namun siapa yang peduli? tidak ada. Apalagi kini, yang terjadi adalah leberalisasi pendidikan. Siapa saja boleh mendirikan dan mengadakan pendidikan. Bahkan pendidikan luar negeri pun dengan mudah bisa masuk ke sini. Undang-undang BHMN bagi perguruan tinggi yang dibatalkan oleh MK menunjukan wajah pendidikan kita sebenarnya, liberal.
Inilah moment  untuk berbisnis bidang pendidikan. Bisnis pendidikan sebagai provit oriented, MENCARI KEUNTUNGAN.  Benar tidaknya, ini daerah abu-abu, dan sudah terjadi. Pemerintah jelas kecolongan atau tidak perduli membuka kran kebebasan bagi pendirian sekolah/universitas.  Jangan2 menikmati setorannya ya.  Ah.. daripada mengumpat kegelapan malam, lebih baik menyalakan lilin. Dari pada mengumpat pemerintah lebih baik mendirikan sekolah sendiri, bisnis bidang pendidikan, lezaaaat.
Bayangkan, kini perusahaan-perusahan besar mendirikan sekolah sebagai profit wings nya. Bohong kalau di nyatakan sebagai CSR. Lihatlah, group  Pembanguna Jaya, Ciputra, Sampurna, Bakrie, Medco, semuanya punya sekolah bahkan diantaranya punya universitas. Lebih hebat lagi, mereka menggiring anak siswa2 Play Group yang sekolah di lembaga dia untuk masuk SD, lulus  SD digiring ke SMP, terus ke SMA. Dan dengan garansi jaminan kerja di lingkungan dia siswa lulus SMA diarahkan ke Universitas dia. Lulus kuliah, bekerja dilingkungan (perusahaan) dia, setelah berpenghasilan dan sukses mereka  diarahkam  agar membeli produk dia yaitu perumahan. Dia hidup, sekolah, kuliah, bekerja, berpenghasilan, ber- pengeluaran, beranak-pinak  semuanya berada dan dapat oleh dia perusahaan besar tersebut. Dia mengeluarkan gaji dan dia pula menyedot uangnya. HEBAT YA …..  Inilah blunder bagi si miskin, berkurangnya kesempatan dan daya saing.
Kalau kita masih berfikir, bolehkan bisnis pendidikan? mbok, ya telat, mang kemana aja, hehe. Tapi, better let than never. Ayo bisnis pendidikan.
Bisnis pendidikan itu tidak pernah rugi. Andai sekolah yang sudah berjalan 5 tahun bubar, tidak ada murid satu pun, itu pun tidak akan rugi, tetap untung. Caranya? nilai propertinya selalu naik, jual aja.
Dan satu hal yang perlu diingat, bisnis pendidikan menelorkan banyak turunan. Seperti  guru, buku, ATK, catering, jemputan, lembaga bimbingan belajar, dll. Bahkan kini lembaga pendidikan menjadi market bagi promosi sebuah produk. Berkedok sponsorship dan kerjasama produk makanan, kesehatan, olahraga, bimbel, menjadikan sekolah sebagai tujuan promosi. Terjadilah barter produk, dan bagi owner sangatlah jelas bahwa ini sangat menguntungkan dan menambah pundi-pundi pendapatan.
Ayo sekolah. Ayo BISNIS SEKOLAH

0 komentar:

Posting Komentar