Bisnis Pendidikan, Bolehkah?
Dunia bisnis, sangatlah luas. Apapun bisa dibisniskan
dan dijadikan peluang bisnis. Sekarang ini lagi trend bisnis pelatihan,
seminar dan kelas-kelas bisnis. Sebelumnya, saya tidak bisa
membayangkan seminar yang cuma beberapa jam tapi biayanya bisa puluhan
juta rupiah. Dengan diiming-imingi perubahan, dahsyat, revolusi dan
sebagainya bisnis ini terbukti cerah dan menjanjikan, buktinya
pesertanya tetep membludak.
Sepintas apa yang menjadi jualan mereka berupa berani mimpi, berani
berubah, berani mencoba adalah hal-hal yang abstrak dan
mengawang-ngawang. Tapi berkat kepiawaian nara sumber memainkan emosi
peserta, body languange, pengalaman hidup dan garansi setelah mengikuti
pelatihan membuat daya dobrak bagi diri peserta yang tadinya tidak
mungkin, menjadi mungkin, tidak bisa menjadi bisa, tidak ada menjadi
ada, diam menjadi bergerak. Mereka berani jualan (busines) mimpi, mimpi
akan kehidupan yang lebih baik.
Hebat benar mereka, telah menginspirasi bayak orang. Dan ilmunya akan selalu dikenang menjadi titik awal perubahan.
Menurut saya, bisnis pelatihan sifatnya bukan barang dan bukan juga
jasa. Karena kalau jasa harus nampak hasilnya dan jelas pekerjaannya
(job desk nya). Jadi inilah bisnis yang bagi saya dulu berpandangan mana
ada yang mau beli, mau ikut kelas, apalagi bayar mahal! Ternyata salah
pandangan saya ini.
Bidang pendidikan merupakan lahan empuk dan subur untuk dijadikan
bisnis. Karena menurut pakar bisnis, ada 2 bidang bisnis yang tidak akan
pernah mati, dalam keadaan perang sekalipun; yaitu, pendidikan, dan
kesehatan. Orang takut bodoh, karena bodoh berakibat miskin. Begitu juga
orang tidak mau sakit, maka apabila sakit maka akan membla-belain
mengobati penyakitnya demi mendapatkan kesembuhan.
Ada sebutan bagi bisnis pendidikan yaitu Edu Preneurship. Dimana
pendidikan menjadi lahan basah untuk berbisnis. Bisnis di bidang
pendidikan bersifat padat modal, mahal dan jangka panjang.
Untuk menilai sukses tidaknya bisnis pendidikan tidak bisa ditentukan
oleh bilangan tahun, karena orang perlu bukti. Bayangkan, untuk bisnis
sekolah tingkat SD, paling tidak indikator berkualitasnya sekolah
tersebut, dilihat dari lulusannya. Berati harus nunggu selama 6 tahun
untuk mendapat kepercayaan masyarakat. Tapi bisa juga berkualitas
dilihat dari proses pendidikannya, input yang diberikan kepada siswa,
juga hasil berupa kemampuan kognitif, apektif dan psikomotorik siswa.
Bisnis pendidikan adalah bisnis kepercayaan, maka sekalinya dipercaya
image itu akan melekat pada lembaganya. Tidak perlu mencari siswa, tapi
orang tua lah yang berbondong-bondong mencari lembaga semacam itu.
Sehingga percaya gak, ada sekolah di bintaro yang waiting list nya 3
tahun. Jadi sekolah tersebut tidak pernah membuka pendaftaran, seringnya
juga menutup pendaftaran. Padahal harga uang pangkal untuk masuknya
saja senilai biaya semesteran di UIN sampai lulus. Jadi kalau mau masuk
Play Group harus daftar sejak bayi dalam kandungan, hehehe.
Kalau diperhatikan, sekarang ini bisnis pendidikan makin subur dan
menjamur. Dengan menu jualan yang bervariasi seperti, bilingual, full
english, lebel IT (Islam terpadu), label Plus, kurikulum Cambridge, dll
membuat sekolah seperti perusahaan, profit oriented. Salahkah? tentu
tidak. Tapi ada hal yang ekslusif bahwa sekolah-sekolah tersebut hanya
untuk kalangan berduit, borjuis bukan untuk orang miskin. Kualitas
sebanding dengan harga, benar adanya. Tapi kalau pendidikan membuat
kastanisasi kehidupan, pemenuhan otak, namun pengeringan hati, patut
dipertanyakan; bahwa pendidikan telah kehilangan rohnya. Kini di dunia
pendidikan tidak bisa lagi diajarkan toleransi, saling menghargai dan
saling membutuhkan. Lho bagaimana mau toleransi, saling
menghargai dan saling membutuhkan karena di suatu sekolah siswanya
bersifat homogen. Kaya, kaya semua. Miskin miskin semuanya. Di suatu
sekolah hanya ada satu agama tertentu saja.
Namun siapa yang peduli? tidak ada. Apalagi kini, yang terjadi adalah
leberalisasi pendidikan. Siapa saja boleh mendirikan dan mengadakan
pendidikan. Bahkan pendidikan luar negeri pun dengan mudah bisa masuk ke
sini. Undang-undang BHMN bagi perguruan tinggi yang dibatalkan oleh MK
menunjukan wajah pendidikan kita sebenarnya, liberal.
Inilah moment untuk berbisnis bidang pendidikan. Bisnis pendidikan
sebagai provit oriented, MENCARI KEUNTUNGAN. Benar tidaknya, ini daerah
abu-abu, dan sudah terjadi. Pemerintah jelas kecolongan atau tidak
perduli membuka kran kebebasan bagi pendirian sekolah/universitas.
Jangan2 menikmati setorannya ya. Ah.. daripada mengumpat kegelapan
malam, lebih baik menyalakan lilin. Dari pada mengumpat pemerintah lebih
baik mendirikan sekolah sendiri, bisnis bidang pendidikan, lezaaaat.
Bayangkan, kini perusahaan-perusahan besar mendirikan sekolah sebagai
profit wings nya. Bohong kalau di nyatakan sebagai CSR. Lihatlah, group
Pembanguna Jaya, Ciputra, Sampurna, Bakrie, Medco, semuanya punya
sekolah bahkan diantaranya punya universitas. Lebih hebat lagi, mereka
menggiring anak siswa2 Play Group yang sekolah di lembaga dia untuk
masuk SD, lulus SD digiring ke SMP, terus ke SMA. Dan dengan garansi
jaminan kerja di lingkungan dia siswa lulus SMA diarahkan ke Universitas
dia. Lulus kuliah, bekerja dilingkungan (perusahaan) dia, setelah
berpenghasilan dan sukses mereka diarahkam agar membeli produk dia
yaitu perumahan. Dia hidup, sekolah, kuliah, bekerja, berpenghasilan,
ber- pengeluaran, beranak-pinak semuanya berada dan dapat oleh dia
perusahaan besar tersebut. Dia mengeluarkan gaji dan dia pula menyedot
uangnya. HEBAT YA ….. Inilah blunder bagi si miskin, berkurangnya
kesempatan dan daya saing.
Kalau kita masih berfikir, bolehkan bisnis pendidikan? mbok, ya telat, mang kemana aja, hehe. Tapi, better let than never. Ayo bisnis pendidikan.
Bisnis pendidikan itu tidak pernah rugi. Andai sekolah yang sudah
berjalan 5 tahun bubar, tidak ada murid satu pun, itu pun tidak akan
rugi, tetap untung. Caranya? nilai propertinya selalu naik, jual aja.
Dan satu hal yang perlu diingat, bisnis pendidikan menelorkan banyak
turunan. Seperti guru, buku, ATK, catering, jemputan, lembaga bimbingan
belajar, dll. Bahkan kini lembaga pendidikan menjadi market bagi
promosi sebuah produk. Berkedok sponsorship dan kerjasama produk
makanan, kesehatan, olahraga, bimbel, menjadikan sekolah sebagai tujuan
promosi. Terjadilah barter produk, dan bagi owner sangatlah jelas bahwa
ini sangat menguntungkan dan menambah pundi-pundi pendapatan.
Ayo sekolah. Ayo BISNIS SEKOLAH
0 komentar:
Posting Komentar